partnership with agoda

Wednesday, August 17, 2016

Apa Kabar Kereta Api Cepat?

Pertemuan saya bersama beberapa rekan dengan Presiden Joko Widodo (JKW) di Istana Negara beberapa bulan lalu, mengingatkan saya pada niat Presiden untuk menjadikan teknologi sebagai tonggak kebangkitan bangsa ini. Presiden mengatakan bahwa untuk menjadi bangsa yang disegani kita harus mempunyai infrastruktur yang berteknologi tinggi. Untuk itu beliau memutuskan membangun Kereta Api Cepat (KAC) atau High Speed Train (HST) Jakarta - Bandung. Jadi benar, membangun KAC adalah ide murni Presiden.

Pada pertemuan tersebut saya sampaikan juga beberapa keprihatinan saya soal pembangunan KAC. Beliau menyimak dan mencatat beberapa masukan tentang KAC, termasuk keberatan saya, karena tingginya biaya investasi dan panjangnya waktu pengembalian, studi kelayakan yang patut diduga banyak mengutip studi kelayakan yang dilakukan oleh Japan International for Cooperating Agency (JICA), studi AMDAL yang meragukan dan ketidakmampuan konsorsium BUMN secara finansial. Namun perintah Presiden jelas bahwa KAC harus segera dibangun tanpa APBN dan harus dapat beroperasi pada tahun 2019. 

Untuk membangun KAC, diperlukan beberapa peraturan perundang-undangan dan izin, mengingat KAC belum pernah dibangun di Indonesia. Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 66 Tahun 2013 Tentang Perizinan Penyelengaraan Prasarana Perkeretaapian Umum, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai operator harus mengurus beberapa izin pembangunan KAC, seperti izin konsesi, izin operasi dan sebagainya.

Pertanyaannya, apakah semua izin sudah diperoleh KCIC dan KAC siap dibangun? Mengingat batas waktu penyelesaiannya sudah mepet. Selain persoalan izin juga muncul persoalan lain yang terkait, misalnya dengan pembebasan tanah, setoran 25% sebagai equity oleh ke empat konsorsium BUMN (PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, PT Perkebunan Negara VIII) dan sebagainya.

Kemudian apa langkah strategis Pemerintah supaya keinginan Presiden terwujud? Kalau masih terkendala, apa saja kendalanya dan bagaimana menyelesaikannya? Mari kita bahas singkat melanjutkan beberapa tulisan saya terdahulu di kolom ini mengenai KAC.

Berbagai Kendala Pembangunan KA Cepat Jakarta - Bandung

KAC Jakarta - Bandung adalah sebuah proyek infrastruktur ambisius yang cacat bawaan dari lahir. Penunjukan pengembang dan teknologi yang digunakan sebagai landasan studi kelayakan patut dipertanyakan kualitasnya, mengingat data-data yang digunakan patut diduga bermasalah termasuk jumlah penumpang (61.000 pax/hari tetapi kemudian direvisi langsung tanpa studi ulang menjadi 28.000 pax/hari), besaran bunga pinjaman investasi yang patut diduga tidak akurat dan tinggi (2%/tahun) sementara berdasarkan studi kelayakan yang dibuat oleh JICA hanya 0,1%.

Kendala izin-izin KAC memang banyak, mengingat proyek ini dilaksanakan secara mendadak sehingga dasar hukumnya belum lengkap. Untuk itu maka diterbitkanlah Peraturan Presiden (Perpres) No. 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan Perpres No. 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategi Nasional. Anehnya meskipun Proyek KAC merupakan proyek swasta bukan proyek strategis, namun proyek KAC ada di lampiran No. 60 di Perpres No. 3/2016. Pat gulipatnya kental sekali di pembangunan KAC.

Setelah beberapa izin dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan, KCIC mendesak supaya izin konsesi bukan 50 tahun tetapi 70 tahun. Namun ditolak Kemenhub. Lalu KCIC juga meminta supaya izin konsesi segera diberikan meskipun tanah yang dibebaskan baru sekitar 5 Km (dari sekitar 145 Km yang dibutuhkan) di daerah Walini. Untuk memenuhinya Kemenhub harus mengkaji kembali dengan teliti. Proses ini oleh Presiden dikesankan Kemenhub lamban, maka terjadilah reshuffle. 

Pemberian izin konsesi memang harus hati-hati, mengingat tanah yang sudah dibebaskan oleh KCIC masih sangat minim. Sehingga jika pemberian izin konsesi diberikan sekaligus bukan bertahap sesuai dengan jumlah tanah yang dibebaskan, maka kemungkinan terjadinya konflik pertanahan akan sangat tinggi karena proses alih fungsi dan kepemilikan belum selesai tetapi tiang pancang untuk prasarana KAC sudah ditancapkan. 

Untuk menanggulangi permasalahan tanah, salah satu BUMN dikabarkan membentuk anak perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan pembebasan tanah. Perusahaan ini juga didirikan dengan dana pinjaman dari China yang menurut kabar burung, investornya mempersyaratkan return 20% per tahun. Bukan main. Ini lintah darat atau investor? Bisa dibayangkan nasib KAC mendatang.

Terkait dengan persoalan modal disetor, patut diduga keempat BUMN mengalami kesulitan equity. Atau minimal beberapa ekspansi korporasi harus ditunda. Kesulitan likuiditas sudah tampak ketika hanya untuk menyetor modal awal saja, salah satu BUMN harus meminjam dana dari Bank dengan bunga cukup tinggi (sekitar 11%). Dengan kata lain kesanggupan mereka untuk menyetor kewajiban sekitar 25% dari investasi atau Rp 19 triliun diragukan.

Dengan kondisi keuangan yang kurang baik, keempat BUMN ini kembali berupaya untuk memaksa investor China supaya mau mengucurkan sebagian modal porsi mereka yang 75% (sekitar Rp. 58 triliun). Tetapi strategi ini gagal. Lalu apalagi cara yang akan dilakukan oleh ke empat BUMN ini? Belum jelas sampai hari ini.

Cara lain yang saat ini sedang dipersiapkan, adalah rencana penyelamatan KAC menggunakan skim Government to Government, bukan lagi Business to Business seperti yang saat ini dilakukan. Secara kebijakan dimungkinkan karena ada klausula di Pasal 25 Perpres No. 3 Tahun 2016, meskipun secara politik buruk karena terjadi pembusukan program Nawacita dan pembohongan publik.

Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah

Pertama, pastikan semua izin, seperti izin trase, izin pembangunan, izin usaha penyelenggaran prasarana perkeretaapian umum, izin konsesi, izin operasi dll benar-benar sudah keluar dan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Kedua, hal krusial di perizinan adalah pada izin konsesi (50 tahun) terkait persoalan kepemilikan atau alih lahan. Sampai hari ini baru sekitar 5 Km dari 145 Km lahan yang sudah dibebaskan, itupun tanah di Walini milik PTPN VIII yang tentunya masih harus menunggu keputusan Menteri Keuangan terkait dengan alih kepemilikan/guna lahan. Tanpa lahan sulit KCIC dapat membangun prasarananya karena pasti akan menimbulkan sengketa dengan pemilik tanah.

Ketiga, persoalan kesulitan pembiayaan. Keputusan Menteri Keuangan sangat ditunggu publik. Jika benar pembangunan KAC akan menggunakan dana APBN sebaiknya publik harus segera mencegahnya. Patut diduga sedang ada persiapan ke arah itu. Saya mengajak publik untuk ikut mengawasi rencana sesat Pemerintah ini. Saya berharap Menteri Keuangan tegas menyatakan tetap B to B untuk pendanaan KAC. *detik
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Find Us on Facebook

Blog Archives

Visitors