partnership with agoda

Tuesday, October 10, 2017

Sunan Kuning, Jejak Ulama Tionghoa yang Tercoreng Lokalisasi

Sebutan Sunan Kuning telah melegenda di benak masyarakat Kota Semarang. Namun ironis, nama tokoh ulama penyebar Islam itu justru lama tercoreng karena dipahami sebagai sebuah lokalisasi terbesar di ibu kota Jawa Tengah itu.

Telah cukup lama Sunan Kuning diinterpretasikan sebagai sebuah kawasan yang terletak di Kelurahan Kalibanteng Kidul, Semarang Barat. Karena memang di kawasan itu terdapat puluhan kompleks hiburan malam yang berdiri sejak 1966. Orang menyebut lokalisasi itu dengan sebutan SK alias Sunan Kuning.

Namun kemasyhuran Sunan Kuning sebagai kawasan bisnis prostitusi membuat orang lupa tentang siapa sebenarnya tokoh Sunan Kuning. Padahal kompleks Sunan Kuning sebenarnya adalah kawasan bernama Argorejo, belakangan disebut kompleks Resosialisasi Argorejo. Lalu siapa sebenarnya Sunan Kuning?

Sebutan Sunan biasanya disematkan bagi tokoh Wali Songo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Namun Sunan Kuning sebenarnya bernama Soen Ang Ing. Dia dikenal sebagai tokoh penyebar Islam asal Tiongkok yang berpindah-pindah tempat di Indonesia. Nah, lidah orang Jawa menyebut Seon Ang Ing dengan Sunan Kuning.

Tak diketahui pasti tahun berapa Soen Ang Ing berdakwah menyebarkan Islam di Semarang. Namun penulis Remy Silado dalam buku 9 Oktober 1740; Drama Sejarah, dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, menyebut bahwa Sunan Kuning sebenarnya memiliki nama populer Raden Mas Garendi.

Buku itu juga menyebutkan bahwa Sunan Kuning berasal dari kata Cun Ling (bangsawan tertinggi). Cun Ling adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan tahun 1740-1743.

Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, RM Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan itu disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.

Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning sebagai raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kala itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC baru berumur 16 tahun--sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai raja orang Jawa dan Tionghoa.

Makam Sunan Kuning

Kebesaran nama Sunan Kuning, ulama dan pejuang di Tanah Jawa yang tercoreng lokalisasi tentu wajib hukumnya untuk diluruskan. Meski kenyataannya, makam Sunan Kuning berada hanya berjarak 50 meter dari kompleks Resosialisasi Argorejo. Tepatnya berada di sebuah bukit di Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat. Orang menyebut bukit mini itu sebagai Gunung Pekayangan.

Untuk menemukan lokasi makam Sunan Kuning sebenarnya cukup mudah. Bila pengunjung telah masuk gang-gang di kompleks lokalisasi Argorejo, pasti akan menemukan ujung kompleks di sisi barat Argorejo. Dari situ, ada sebuah portal besi sebagai batas komplek hiburan malam dengan perkampungan warga di Jalan Sri Kuncoro 1. Sekitar 50 meter dari portal itu makam Sunan Kuning berada.
Untuk sampai di kompleks makam, pengunjung harus memasuki sebuah gapura bercat hijau dan menaiki jalan setapak di kompleks makam. Sebelum sampai di makam utama Sunan Kuning, ada pemakaman penduduk bernama Tepis Wiring.

Sampai di puncak bukit, ada pintu gerbang kedua dengan arsitektur khas Tiongkok yang menjadi pintu masuk area makam Sunan Kuning. Di dalam area makam terdapat tiga bangunan mirip rumah mini serta pohon-pohon besar rindang yang menjulang tinggi.

Bangunan rumah pertama diperuntukkan bagi peziarah yang hendak istirahat atau menginap. Sedangkan rumah kedua terdapat tiga makam tertulis nama Kyai Sekabat, Kyai Djimat, dan Kyai Modjopahit. Ketiga makam itu adalah murid sekaligus pembantu setia Sunan Kuning.

Makam Sunan Kuning di bagian sisi pojok makam. Sebuah bangunan permanen khas Tiongkok dengan dominasi cat kuning terlihat. Bangunan itu dilengkapi dengan teras mirip pendapa sebagai tempat berziarah.

Sebuah pintu besar warna merah menyala lalu dibuka Sutomo (juru kunci) dengan hati-hati. Jari telunjuknya lalu menunjukkan satu per satu makam yang berjumlah tiga nisan, termasuk makam Sunan Kuning. 

"Ini makam Soen Ang Ing atau Kanjeng Sunan Kuning, lalu ini makam Sunan Kalijaga dan ini Sunan Ambarawa atau Syekh Maulana Maghribi Kendil Wesi," kata Sutomo.

Secara fisik, ketiga makam utama itu sengaja diberi rumah-rumahan kecil lengkap dengan kelambu berwarna merah. Persis di depan nisan berkelambu, ada ornamen patung mini khas China. Sedangkan di dinding tampak gambar Wali Songo serta ornamen China. Ada juga sejumlah dupa berikut wadahnya yang belum lama digunakan oleh peziarah di depan makam.

"Makam di sini selalu bersih dan terjaga dengan baik. Peziarah juga kalau di bulan Asyura seperti saat ini memang ramai," ujar bapak lima anak dan tiga cucu itu.

Meski begitu, Sutomo mengaku menyayangkan pamor makam ulama besar Sunan Kuning yang perlahan memudar seiring kentalnya sebutan Sunan Kuning sebagai kompleks prostitusi.

"Padahal dahulunya makam sini itu wingit dan sakral. Peziarah banyak datang dari kota-kota besar di Indonesia. Makanya harus diluruskan bahwa Sunan Kuning bukanlah kompleks lokalisasi, tapi makam ulama besar," kata pria generasi kelima juru kunci Makam Sunan Kuning itu.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Find Us on Facebook

Blog Archives

Visitors