partnership with agoda

Sunday, April 22, 2018

Misteri dan Keunikan Candi Dadi di Tulungagung

Candi Dadi yang terletak di Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur ini memiliki keunikan tersendiri. Candi Tunggal yang berada di puncak bukit ini juga menyimpan kisah misteri yang melegenda dari mulut ke mulut.

Candi Dadi berada pada ketinggian 360 meter di atas permukaan laut dan berada di tengah areal kehutanan RPH Kalidawir. Sebenarnya Candi Dadi merupakan bagian dari kompleks percandian, karena Desa Wajak Kidul bagian selatan merupakan perbukitan. Pada empat puncak perbukitan tersebut masing-masing terdapat satu buah candi dan Candi Dadi ada pada puncak tertinggi. 
Pada puncak lain terdapat Candi Gemali, Candi Buto, dan Candi Urung (Bubrah), sehingga membentuk deretan candi dari yang paling rendah ke yang paling tinggi, yaitu Candi Dadi. Kondisi candi-candi itu sekarang tinggal puing-puing yang berserakan, hanya tinggal Candi Dadi yang berdiri kokoh.

Candi Dadi merupakan candi tunggal yang tidak memiliki hiasan dan arca. Denah Candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14 meter, lebar 14 meter,  dan tinggai 6,5 meter. Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. 

Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan. Pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumur. Diameter sumur adalah 3,35 meter dengan kedalaman 3 meter.

Uniknya, sumuran itu ketika hujan turun sederas apa pun, di dalam sumuran tidak pernah menggenang air. Air yang turun langsung meresap ke dalam. Sejak awal berdiri belum pernah mengalami pemugaran, jadi Candi Dadi ini masih sama dengan zaman dulu.

Penelitian terhadap Candi Dadi pernah dilakukan oleh beberapa ahli purbakala, yaitu PJ Veth (1878), Hoepermans (1913), NJ Krom (1915 dan 1923), Haase (1901). Dalam laporan Belanda pada abad ke-19, disebutkan adanya kelompok bangunan candi (jumlahnya lima) di lereng utama pegunungan Wajak atau juga disebut pegunungan Walikukun di Tulungagung. 

Candi Dadi merupakan salah satu dari lima kelompok candi tersebut. Tetapi sekarang ini hanya Candi Dadi saja yang masih tersisa, sedang yang lain sudah tak berbekas lagi.

Letaknya yang berada di puncak bukit dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuna bahwa puncak gunung adalah tanah suci. Anggapan ini merupakan sebuah tradisi yang berlangsung sejak zaman prasejarah yang percaya bahwa arwah para leluhur berada di puncak gunung. 

Berkenaan dengan paham tersebut, lingkungan alam di sekitar Candi Dadi memang sangat mendukung. Candi Dadi yang berada di puncak bukit dan langsung menghadap lembah Boyolangu di sebelah utaranya merupakan karya arsitektur yang menggambarkan sebuah kemegahan.

Selain sebagai tempat pemujaan, dapat diduga Candi Dadi dahulu berfungsi juga sebagai tempat pengabuan, pembakaran jenazah tokoh atau penguasa saat itu. Sifat keagamaan yang melatarbelakangi pendiriannya secara tepat belum diketahui. 

Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya data yang mampu menunjang upaya pengenalannya secara langsung. Namun, sumuran yang terdapat di bagian tengah bangunan candi tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk dari karakter sebuah percandian berlatar belakang keagamaan Hindu. Diperkirakan Candi Dadi merupakan peninggalan sejarah pada masa kerajaan Majapahit sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV.

Candi Dadi juga sarat dengan aura mistis sekaligus keramat, terlebih jika dikaitkan dengan asal-usulnya. Konon, dahulu kala ada seorang pangeran yang sengaja datang ke Desa Kedungjalin untuk melamar seorang putri cantik jelita. Sang putri sebenarnya tak ingin menerima lamaran, namun karena tidak bisa menolak secara langsung, dia pun mengajukan syarat. Sang Pangeran harus bisa membangun 4 buah candi dalam kurun waktu satu malam saja.

Bagi sang pangeran, syarat tersebut tidaklah sulit dan membangun candi demi pujaan hatinya. Sang putri tak menyangka persyaratan yang diajukan ternyata dengan mudah dikerjakan, sehingga berpikir untuk menggagalkan usaha Sang Pangeran.

Akhirnya ketika candi ke-4 hampir selesai, sang putri memerintahkan beberapa wanita untuk membunyikan suara lesung. Mendengar suara lesung, sang pangeran menyangka hari telah berganti pagi dan akhirnya pembangunan candi ke-4 terpaksa tak diselesaikan. 

Candi keempat ini oleh masyarakat dinamakan Candi Urung, karena bentuknya yang tidak sempurna. Kata “Urung” sendiri berasal dari bahasa jawa yang artinya Belum.

Tak berapa lama, sang pangeran menyadari hari masih petang dan merasa telah ditipu oleh sang putri. Dengan murkanya, sang pangeran mengutuk para wanita di desa itu takkan bertemu dengan jodohnya kecuali telah masuk usia tua.

Sedang penamaan Candi Buto, karena menurut masyarakat, dulu di atas candi tersebut terdapat sebuah arca besar yang sekarang tidak kelihatan. Sedangkan nama Candi Gemali atau Lingga Gemali sendiri karena di sana terdapat lingga yang mempunyai makna kesuburan lelaki. Warga desa sekitar menganggap candi itu sebagai salah satu tempat keramat di Tulungagung hingga saat ini.sindo
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Find Us on Facebook

Blog Archives

Visitors