Sejarah Berdirinya Kerajaan Natal di Sumatera Utara
NATAL merupakan salah satu kota kecil yang berada di pesisir barat Sumatera Utara (Sumut), tepatnya di Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Natal ini menyimpan banyak sejarah hingga akhirnya disematkan menjadi nama kabupaten di Sumut yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat.
Sebelum masuknya Belanda, di daerah tersebut sudah berdiri satu kerajaan bernama Kerajaan Nata. Cikal bakal Kerajaan Nata ini bermula dari Kerajaan Indrapura, salah satu kerajaan Minang Kabau yang makmur dan tergabung ke dalam Kerajaan Pagaruyung. Masa kejayaan Kerajaan Indrapura dipimpin seorang raja bernama Sultan Muhammadsyah. (Sumber: Tambo Alam Minang Kabau-Sultan Nan Salapan - hal. 84).
Karena usianya tergolong masih muda, pemerintahan Sultan Muhammadsyah diwakili ayahnya, Sultan Malfarsyah. Sayangnya, Sultan Malfarsyah sangat ambisius dan sering bertindak malampaui wewenangnya sehingga rakyat tidak menyenanginya.
Semetara itu di daerah Manjuto yang terletak di sebelah Selatan Indrapura, berkuasa pula saudara sepupu Sultan Muhammadsyah yang bernama Rajo Adil. Ia didudukkan di sana sebagai wali dari Indrapura. Rajo Adil menentang tindakan sewenang-wenang dari Sultan Malfarsyah sehingga terjadilah perang saudara. Karena terdesak, Sultan Malfarsyah meminta bantuan Belanda di Salido dengan imbalan emas dan lada untuk mengusir Rajo Adil dari Manjuto.
Sebaliknya, Rajo Adil memperoleh bantuan dari perwakilan Aceh yang ada di Indrapura. Dalam peperangan ini, Rajo Adil terusir dari Manjuto, namun hanya sementara karena Rajo Adil kembali merebut Majuto dengan dukungan penuh kalangan rakyat, kemudian kekuatan militer Belanda berhasil dihancurkan. Ini merupakan kekalahan Belanda yang pertama di Sumatera Barat.
Akhirnya VOC mengambil sikap untuk mendekati kedua belah pihak dengan mengusung perjanjian damai. Berdasarkan penuturan orang tua di Natal, yang diceritakan secara turun-temurun disebutkan, berdirinya daerah Natal bermula dari perantauan salah seorang keturunan raja Indrapura bernama Indra Sutan.
Beliau ditugaskan untuk merantau mencari daerah pemukiman untuk membangun kerajaan. Kira-kira pada tahun 1300 berangkatlah Indra Sutan dengan rombongannya mengarungi Samudera Hindia menuju arah Utara.
Berbagai halangan maupun rintangan mereka hadapi dengan sabar demi mewujudkan cita-cita luhur membangun sebuah dinasti baru. Haluan pun diarahkan memasuki muara sungai beremas terus menyusup ke pedalaman hingga tibalah mereka disebuah negeri yang bernama Kerajaan Ujung Gading (ibukota Kecamatan Lembah Melintang di Kabupaten Pasaman Barat sekarang ).
Kedatangan mereka di sana disambut baik segenap masyarakat dan keluarga besar Kerajaan Ujung Gading. Indra Sutan beserta rombongan menetap beberapa saat untuk melengkapi perbekalan yang mulai menipis. Pada masa inilah terjalin hubungan baik antara Indra Sutan dengan Datuk Imam Basa. Bertepatan pula terjadi kemelut di dalam percaturan politik Kerajaan Ujung Gading sehingga disinyalir akan adanya rencana pembunuhan terhadap diri Datuk Imam Basa.
Lantas Indra Sutan mengajak Datuk Imam Basa agar ikut bersama dengannya berlayar mencari daerah pemukiman baru. Mulanya Datuk Imam tidak bersedia, namun Indra Sutan memberi pandangan betapa tragisnya nanti bila polemik ini harus berakhir dengan perang saudara yang tidak akan menguntungkan kedua belah pihak.
Akhirnya Datuk imam bersedia menerima usulan Indra Sutan. Berangkatlah kedua bangsawan ini beserta rombongannya menuju muara. Pelayaran dilanjutkan menuju ke utara hingga tidak berapa lama masuklah iring-iringan pincalang itu ke muara Sungai Batang Natal yang disebut Kualo Tuo.
Terus menyusuri sungai hingga terlihatlah sebuah hamparan tanah yang datar lantas mereka menepi lalu turun mengamati keadaan daerah tersebut sambil mencari keberadaan hunian penduduk namun tak seorangpun manusia yang mereka jumpai. Perbekalan pun diturunkan, sebagian rombongan menyiapkan peralatan sambil mengumpulkan kayu untuk persiapan memasak.
Setelah membincang situasi daerah yang baru saja mereka singgahi, keduanya bersepakat untuk menetap dan bermukim di sana. Lantas prosesi menimbang tanah dan air tawar yang mereka bawa dari daerah asal pun dimulai. Keduanya sama-sama bertanya siapakah di antara mereka yang pertama melakukan ritual tersebut.
Indra Sutan mempersilakan sahabatnya Datuk Imam untuk mengambil peran lebih dahulu. Akhir dari ritual, disudahi dengan memberi nama tempat ini dengan sebutan Malako karena banyaknya tumbuhan kayu bernama malako. Kayu malako ini adalah tumbuhan kayu yang batangnya tidak terlalu besar, ukuran paling besar hanya sebesar tiang rumah namun tahan bertahun-tahun.
Hingga akhir tahun 2000, masyarakat masih sering mengambil kayu malako ke sana sebelum daerah ini dijadikan perkebunan sawit. Penabalan nama ini dilanjutkan dengan nama daerah sekitarnya seperti tempat mereka menyandarkan pincalang disebut dengan Labuhan Ajuong.
Keadaan kontur tanah Kampung Malako yang sayup mata memandang terlihat datar dan indah mengilhami orang-orang di sana menyebutnya dengan nama lain yaitu Ranah Nan Data. Inilah kelak yang akan menjadi cikal bakal nama Nata menurut salah satu versi masyarakat di Nagari Nata.
Setelah beberapa waktu berlalu kedua anak bangsawan itu berniat menjelajahi daerah hulu sungai karena mereka melihat bonggol jagung hanyut dibawa arus sungai. Mereka pun berkemas dan berlayar kembali menuju hulu sungai. Tidak berapa lama, mereka melihat taratak orang-orang yang tinggal di peladangan. Mereka menggantungkan hidup dari hasil bercocok tanam dan menangkap ikan di sungai.
Rombongan Datuk Imam dan Indra Sutan pun singgah sembari menyapa mereka. Kedua anak bangsawan ini berhasil melakukan diplomasi yang santun dan menyampaikan keinginan mereka mendirikan kerajaan baru. Gayung pun bersambut, kepala suku Taratak menerima maksud mereka dan menyampaikan bahwa di sekitar daerah itu juga terdapat komunitas suku pedalaman. Mereka biasanya menyebutnya sanak suku kubu, yang berdiam di sekitar daerah Sinunukan.
Alhasil, tercapailah kesepakatan untuk mendirikan sebuah kerajaan baru yang dinamai dengan Linggo Bayu. Kerajaan baru ini pun ditata sedemikian rupa dan ibukotanya berkedudukan di Tapus dengan kepala pemerintahannya Tuanku Indera Sutan yang diberi gelar Rajo Putih pada awal tahun 1301.
Setelah mendirikan Kerajaan Linggo Bayu, disepakatilah pembagian dua wilayah kedaulatan. Maka ditetapkanlah batas-batas wilayah yang meliputi dari Kualo Tuo sampai ke Kampung Malako adalah merupakan wilayah yang diperintah Datuk Imam. Sedangkan dari Muaro Selayan sampai ke perbatasan Malako merupakan wilayah kekuasaan Indra Sutan (Rajo Putih).
Datuk Imam beserta rombongannya pun berkemas dan pamit kepada Indra Sutan untuk bertolak menuju hilir dalam rangka mempersiapkan pembentukan kerajaan baru yang nantinya diperintah Datuk Imam.
Rombongan pun berlayar menuju Malako dengan perasaan lega dan bahagia karena pengembaraan yang panjang berakhir hingga di ranah yang baru ini. Prosesi pendirian kerajaan berjalan dengan lancar dan khidmat hingga dinobatkanlah Datuk Imam sebagai Raja Nagari Malako Dengan sebutan Tuanku Besar Datuk Imam Basa.
Melihat perjalanan Kerajaan Linggo Bayu yang dipimpin Tuanku Besar Rajo Putih dan Kerajaan Nata di bawah kekuasaan Tuanku Besar Datuk Imam Basa membuktikan tali persaudaraan keduanya langeng hingga akhir hayat. Tuanku Besar Datuk Imam Basa mangkat di Natal. Tidak lama berselang menyusul pula Tuanku Besar Indera Sutan yang dimakamkan di Tapus.
Tuanku Besar Datuk Imam Basa adalah raja I (pertama) di Nagari Nata. Beliau mempunyai empat orang saudara perempuan yakni Puti Siti Ratiah, Puti Raani, Puti Gumila dan Puti Handum. Puti Ratiah mempunyai dua orang putera yaitu Datuk Basa Nan Tuo dan Datuk Basa Nan Mudo. Datuk Basa Nan Tuo diangkat menggantikan mamaknya Tuanku Besar Datuk Imam Basa sebagai raja Nagari Nata ke II.
Asal Usul Nama Natal
Menurut Agus, sejarawan Natal mengatakan, terdapat beberapa versi tentang asal usul nama Natal di antaranya, Mandailing. Menurut versi ini, Nata berasal dari kata Natarida karena mereka melihat dari puncak gunung, terhamparlah sebuah kawasan dipinggir pantai. Mereka menyebutnya dengan Natar. Kemudian berubah manjadi Nata.
”Namun, banyak bantahan terhadap penamaan ini karena, pada masa itu belum ada hubungan antara orang mandailing dengan masyarakat pesisir,” ujarnya.
Selanjutnya, versi orang Natal, sebagian menyebut asal usul nama Nata berasal dari “Ranah Nan Data”. Lama kelamaan berubah menjadi Nata. Bantahan terhadap teori ini adalah, perubahan dari Ranah Nan Data menjadi Nata adalah merupakan proses nasalisasi yang tidak dapat diterima karena terlalu jauh dan juga panjang. Seperti Tanah datar di ranah minang, Ranah Batahan di kampung baru, hingga sekarang tidak dipengaruhi oleh proses nasalisasi.
Selanjutnya, versi Inggris mengklaim bahwa mereka yang pertama memberikan nama, yaitu Natal tepat pada hari kelahiran Kristus. Hal ini mungkin dapat diterima karena proses nasalisasi antara Natal dengan Nata begitu dekat dan cocok. Inggris boleh saja mengklaim bahwa mereka yang memberikan nama Natal. Namun, mereka kalah cepat dibandingkan dengan kedatangan bangsa Portugis yang terlebih dahulu menginjakkan kakinya di wilayah ini.
Selain itu, ada versi Portugis. Bangsa ini juga mengklaim bahwa merekalah yang pertama memberikan nama Natal tahun (1492-1498) bertepatan pada hari kelahiran Kristus. Versi ini memang dapat diterima karena mereka penjelajah pertama yang tiba di Pelabuhan Natal. Natal yang disebut oleh Portugis hanya daerah pinggir pantai saja tepatnya di sekitar Pasar I, II, III, IV dan V sekarang.
Berdasarkan proses nasalisasi antara kata Natal dengan Nata memang berhubungan dekat sekali. Seperti proses nasalisasi dari kata kapal menjadi kapa, bantal menjadi banta dan sebagainya.
Rumah Gadang Natal, salah satu bukti kejayaan Kerajaan Natal yang masih kokoh berdiri hingga saat ini.sindonews