partnership with agoda

Thursday, October 12, 2017

Kisah Kebiadaban PKI di Kanigoro, Ribuan Massa Bercelurit Serbu Masjid

Samsuka (80) warga Desa Kesamben, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, salah satu saksi sejarah peristiwa Kanigoro pada awal tahun 1965.

Jejak-jejak kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) masih bisa dirasakan di Kediri dan Blitar. Tapi untuk merunut saksi sejarah aksi PKI tersebut sudah mulai meninggal satu per satu. Beruntung ada dua orang saksi sejarah pergolakan 1965 yang masih bisa menceritakan kekejaman PKI pada peristiwa Kanigoro awal tahun 1965. 

Kedua orang itu adalah Mohammad Ibrahim (75) warga Kota Kediri, dan Samsuka (80) warga Desa Kesamben, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. 

Ketika itu pada 10 Januari 1965, Mohammad Ibrahim masih berumur 22 tahun. Ibrahim muda adalah aktivis Pergerakan Islam Indonesia (PII), kala itu berafiliasi dengan Masyumi. 

Pada hari itu, Ibrahim bertugas menjadi satuan pengamanan kegiatan mental training (Mentra) PII se Jawa Timur. Rencananya Mentra PII digelar empat hari, 10-13 Januari 1965.

Perwakilan dari Madura, Jember, Banyuwangi, Madiun, Blitar, Ponorogo, sudah berdatangan sehari bahkan dua hari sebelum dimulai kegiatan Mentra. Hampir semua wilayah di Jawa Timur ketika itu mengirimkan wakilnya.

”Ada 125 pemuda dan pemudi. 27 orang adalah santri wanita,” tutur Ibrahim ditemui di Masjid Al Ikhlas Desa Ngadiluwih, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, Kamis 28 September 2017. 

Ibrahim mengenakan, baju batik lengan panjang saat duduk bersila di teras Masjid Al Ikhlas Ngadiluwih. 

Dia dikelilingi jamaah salat zuhur. Mereka dengan tekun pula mendengarkan penuturan pria yang sudah puluhan tahun berjuang melalui PII tersebut. Menurut Ibrahim, lokasi pelaksanaan Mentra PII sengaja dipusatkan di rumah KH Said di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. 

PII tidak sembarangan memilih rumah KH Said. Pemilihan lokasi juga melalui observasi. Rumah KH Said di Kanigoro hanya berjarak 12 km dari Kota Kediri. Pada zaman itu, rumah KH Said juga sudah memiliki penerangan dari genset yang melimpah. 

”Ada musala (saat ini sudah menjadi Masjid Kanigoro). Ada Sekolah Rakyat Islam. Dan ada SMP Islam. Punya kelas-kelas. Semua sangat memadahi untuk Mentra PII,” tutur pria yang masih kuat mengemudikan mobil itu. 

Tetangga KH Said juga mendukung penuh Mentra PII. Mereka ada yang menyediakan rumahnya untuk kantor. Bahkan ada rumah warga dijadikan asrama putri. Hari pertama Mentra berjalan lancar. Kegiatan Mentra dipusatkan di madrasah. Biasanya dimulai dari Salat Subuh. Setelah itu berlanjut dengan pengajian, kajian, dan diskusi hingga malam. Kegiatan hingga hari ketiga berjalan lancar. 

”Setelah kami semua salat subuh pada hari keempat atau pada tanggal 13 Januari 1965, kami kedatangan tamu tak diundang. Saat itu ada pengajian,”. Ibrahim berhenti sejenak. Bibirnya mengatup sebentar. ”Ada ribuan, mungkin lima ribu orang mengepung kami,” katanya. 

”Ayo bunuh antek-antek nekolim. Ayo bunuh anak-anak Masyumi”. Teriakan massa bersenjatakan celurit benar-benar mengagetkan peserta Mentra. 

Ibrahim sebagai panitia pengamanan tidak bisa berbuat banyak. Untungnya peserta putri sudah pulang ke asrama. Massa itu mengatasnamakan Pemuda Rakyat, dan Barisan Tani Indonesia (BTI).

Semua orang tahu, bahwa itu organisasi underbow PKI. Massa PKI yang datang dari Kediri, Blitar, Tulungagung, ini dipimpin Ketua Pemuda Rakyat Kecamatan Kras Kabupaten Kediri bernama Suryadi. Wakil Suryadi bernama Harmono dari BTI.

Peserta yang berkumpul di masjid, madrasah dan tempat rapat Mentra benar-benar diuji mentalnya. Massa yang membawa celurit, parang, palu, tanpa ampun mengacak-acak lokasi Mentra. Mereka merampok barang-barang peserta. Dokumentasi, buku buku. 

Bahkan Alquran diinjak injak. Mereka menghina kitab suci umat Islam. Salah satu kata yang masih diingat Ibrahim, ”Iki lo (menunjukkan Alquran) yang membuat gudikan (penyakit gatal-gatal)".

Salah satu ulama yang mengisi pengajian, Kiai Jauhari, ayah kandung Gus Maksum, pendiri Pagar Nusa diseret dari masjid. 

Salah satu keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo Kediri itu dikeluarkan ke halaman sambil tangan diikat. Massa PKI bersorak gegap gempita menyaksikan Kiai Jauhari diseret dengan tangan terikat. 

Sementara peserta Mentra juga diikat tangannya. Ada satu orang yang diikat dengan yang lain. ”Pokoknya badan kami diikat. Mata kami tidak ditutup. Tapi kami tidak takut sedikitpun,” kata Ibrahim yang pada saat itu masih kuliah di Jakarta. 

Massa Pemuda Rakyat dan BTI ini lantas menggiring peserta Mentra ke suatu tempat. Ibrahim tidak tahu tempat tersebut. Tapi selama perjalanan melewati tegalan, mereka selalu diteror dengan kata-kata. ”Enaknya dibunuh dimana? Utang nyawa dibayar nyawa”. 

Ternyata massa PII dibawa ke Markas Polsek Kras. Pada saat itu Kapolsek bernama Kari. Suryadi lantas pidato. 

”Kami menyerahkan antek-antek Nekolim, Anak-anak Masyumi. Anti Nasakom, anti revolusi. Kami serahkan kepada pak polisi untuk ditindak lanjuti,” kata Suryadi ditirukan Ibrahim. Kapolsek Kari lantas menyampaikan terima kasih atas jasanya. ”Nanti kami tindak lanjuti,” ujar Kapolsek ketika itu seperti ditirukan Ibrahim. 

Kari lantas memerintahkan massa PKI untuk bubar. Setelah itu massa bergeser dari Polsek Kras. Tapi sepengetahuan Ibrahim, mereka sebenarnya tidak bubar. 

Massa PKI hanya pindah tempat. Beberapa saat kemudian, camat Kras bernama Sumadi tiba di Polsek Kras. 

Camat yang beraliran PNI tersebut menangis sambil meminta maaf kepada peserta Mentra. Dia merasa tidak bisa menjaga keamanan peserta Mentra. Sumadi kemudian meminta peserta melanjutkan mentra di Kompleks Haji Said.

”Ada sebagian yang melanjutkan Mentra, tapi ada yang sudah dijemput bapak-ibunya. Sejak itu pula kami sangat berhati-hati dengan PKI,” tutur Ibrahim.

Sementara menurut Samsuka sejak peristiwa Kanigoro kekejaman massa PKI makin menjadi. 

Hampir semua wilayah di eks Karesidenan Kediri menjadi basis PKI. Pada peringatan 17 Agustus 1965 misalnya, hampir semua jalan di Ngadiluwih, Kediri dipasang ratusan bendera palu arit. 

Demikian pula di Kabupaten Blitar. Atribut-atribut PKI juga terpasang di mana-mana. PKI juga sudah menancapkan kukunya ke Blitar selatan. Mereka menggelar aksi-aksi sepihak di Blitar. Salah satunya terjadi di persawahan H Azhari, Desa Ringinanyar. 

"Pas pak Azhari panen kacang, orang-orang miskin yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) digerakkan oleh PKI. Mereka digerakan untuk meminta panen milik Pak Azhari. Satu orang bawa satu tangkai kacang tanah. Jumlah orang miskin sekitar 100 orang. Tokohnya bernama Langkir dari Dermojayan," tandasnya. 

Prolog G30 S PKI
Menurut analisa Ibrahim, penyerbuan Kanigoro merupakan latihan PKI sebelum G30S PKI. Ini adalah prolog sebelum gerakan September 1965. Penyerbuan Kanigoro juga merupakan test case kekuatan di luar PKI. Sesungguhnya kekuatan yang masuk Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) tidak bisa ”disatukan”. 

”Tidak mungkin yang bertuhan ketemu dengan yang tidak bertuhan. Contoh nila setitik rusak susu sebelanga. Nah ini dipaksakan. Yang baik-baik akhirnya jadi lemah,” tutur Ibrahim.

Penyerbuan Kanigoro telah memanaskan situasi di Kediri dan sekitarnya. Massa PKI terkosentrasi di Kediri bagian timur atau kawasan lereng Gunung Kelud. Kecamatan Ngadiluwih dan Kecamatan Kras terbelah menjadi dua. 

Wilayah barat Jalan Raya Kecamatan Ngadiluwih menjadi basis kelompok Islam. Sementara wilayah timur jalan raya yang menghubungkan Kediri-Tulungagung, menjadi basis kelompok merah. 

Pada malam hari, situasi jalanan Kecamatan Ngadiluwih menjadi mencekam. Warga tidak berani keluar rumah. Pos-pos pengamanan dijaga dengan celurit. 

”Warga Islam yang kebetulan tinggal di wilayah timur, pada malam harinya mengungsi ke wilayah barat. Masjid Al Ikhlas ini sebagai batasnya,” kata Ibrahim. 

Pascaperistiwa Kanigoro, kelompok kelompok Islam sudah saling berkoordinasi. Mereka tetap meminta aparat berwajib untuk mengusut penyerbu Mentra PII di Kanigoro. Pada Februari 1965, polisi akhirnya menangkap Suryadi. 

Dia dituduh sebagai provokator dan orang yang bertanggung jawab atas penyerbuan itu. Dari kelompok PII, polisi menangkap Anis Abiyoso dari tempat persembunyiannya. Anis adalah penanggung jawab kegiatan Mentra PII. 

Keduanya disidang bergantian hingga beberapa hari jelang pembunuhan Jenderal di Jakarta, 30 September 1965. Sidang Suryadi dan Anis akhirnya ditelan zaman. Pada Oktober 1965 awal, sidang Anis dan Suryadi dinyatakan ditutup. 

Setelah Pemerintah menyatakan PKI memberontak. Anis Abiyoso bebas, sedangkan Suryadi tak diketahui jejaknya. Anis disambut bak pahlawan. Dia diarak keliling Kota Kediri. Pada saat bersamaan, kekuatan PKI yang sudah mendominasi Kediri akhirnya lumpuh.

Pada 13 Oktober 1965, ada rapat besar di Alun-Alun Kediri. Kelompok Islam dari NU-Muhammadiyah, Masyumi dan lainnya, bersatu menyatakan perang. Gropyokan PKI (menggerebek) terjadi mana-mana. Massa bertemu massa PKI. Situasi tak terkendali terjadi beberapa hari. ”Setelah itu datang tim dari pemerintah mengendalikan situasi,” kata Ibrahim. sumber: sindonews
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Find Us on Facebook

Blog Archives

Visitors