Uniknya Wisata Ke Desa Trunyan, Bali
Bali memang dikenal masih menjunjung tinggi budaya serta adat-istiadat mereka. Meskipun kini telah bersentuhan dengan pengaruh modern, namun beberapa tempat di Pulau Dewata masih mempertahankan budaya warisan nenek moyang mereka. Salah satunya, dan mungkin merupakan kawasan paling ‘misterius’ di Bali, adalah Desa Trunyan.
Terletak di pinggir Danau Batur, Kintamani, Desa Trunyan dikenal berkat tradisi unik masyarakatnya, yaitu mengubur jenazah di atas tanah alias tidak dikubur. Ya, berbeda dengan kebanyakan masyarakat Bali yang melakukan pemakaman dengan membakar jenazah alias ngaben, warga Desa Trunyan akan membiarkan jenazah membusuk di permukaan tanah dangkal berbentuk cekungan panjang.
Biasanya, jenazah akan diletakkan berjejer dengan jenazah lainnya menggunakan kain pembungkus sebagai pelindung tubuh saat prosesi. Jenazah akan ditutup oleh Ancak Saji, yaitu anyaman bambu segitiga yang berfungsi melindungi jenazah dari binatang buas.
Hal lain yang membuat Desa Trunyan unik adalah, meskipun jenazah dibiarkan di permukaan tanah, namun jenazah tidak akan menebarkan aroma busuk. Hal itu diyakini berkat keberadaan pohon Taru Menyan di pintu masuk utama. Pohon yang memiliki arti ‘pohon wangi’ ini diyakini menyerap bau jenazah. Di bawah pohon tersebut dijejerkan tengkorak-tengkorak manusia.
Tapi, rupanya tidak semua warga bisa dimakamkan di pemakaman utama Desa Trunyan, yaitu Sema Wayah. Hanya orang-orang cukup umur, telah menikah, bujangan atau anak kecil yang telah tanggal gigi susunya yang bisa dimakamkan di sini. Dengan catatan, kematian mereka harus dikarenakan penyebab yang wajar.
Sementara itu, bayi yang meninggal dunia akan dikuburkan di lokasi lain bernama Sema Muda. Untuk orang yang meninggal dikarenakan kecelakaan atau sebab tidak wajar lain, seperti dibunuh atau kecelakaan, akan dimakamkan di Sema Brantas. Semua itu diatur sesuai kaidah yang berlaku di desa tersebut.
Prosesi pemakaman sendiri berjalan cukup sederhana, di mana jenazah akan dibawa menggunakan perahu motor dari desa diikuti oleh keluarga dan warga yang mengunakan perahu motor lain.
Untuk menuju Desa Trunyan, kamu bisa melalui akses jalur darat yang berjarak sekitar 45 menit dari Panelokan. Atau, kamu bisa melewati akses dermaga di Kedisan menggunakan perahu motor. Di dermaga itu biasanya sudah menunggu beberapa pemilik perahu motor yang menawarkan untuk mengantarkan kamu ke Desa Trunyan.
Nah, kamu harus pintar menawar saat ingin menyewa perahu, karena seringkali kamu akan ditawarkan harga yang sangat tinggi. Biasanya, tarif yang akan ditawarkan kepada travelers adalah Rp500.000 untuk pulang-pergi. Tarif itu umumnya sudah satu paket dengan jasa pemandu.
Jika kamu memang berniat mengunjungi Desa Trunyan, ada baiknya kamu mengajak seorang guide, baik dari jasa operator tur atau, lebih baik lagi, kenalan kamu. Mengajak warga Bali asli biasanya akan lebih memudahkan proses tawar-menawar hingga perjalanan itu sendiri.
Oya, kamu juga harus memastikan apakah harga yang harus dibayar sudah termasuk retribusi saat tiba di tujuan, atau kamu hanya membayar biaya sewa perahu agar tidak terjadi kesalahpahaman saat memasuki Desa Trunyan nanti.
Meskipun kunjungan ke Desa Trunyan harus melewati perjalanan panjang dan cukup menantang, namun tidak ada salahnya kamu mendatangi desa ini untuk merasakan sisi lain pesona Pulau Dewata. Selain menikmati pemandangan indah Gunung Batur, kamu juga bisa mempelajari keunikan lain dari warisan budaya Indonesia.